Minggu, 06 Maret 2011

Kekerasan dan Pelanggaran HAM

Harap simak kembali sejarah, apakah Indonesia –atau Asia Tenggara– tempat lahir peradaban semisal agama, seni atau filsafat? Penelitian yang telah dilaksanakan sejak lama membuktikan bahwa wilayah tersebut bukan tempat lahir peradaban tetapi impor peradaban. Hubungan dengan bangsa asing semisal Cina, India, Persia, Arab dan bangsa-bangsa Eropa berakibat bangsa-bangsa Asia Tenggara mengenal peradaban. Bangunan masjid dikenal dari Arab, bangun candi dikenal dari India, bangun klenteng dikenal dari Cina dan bangun gereja dikenal dari Eropa. Adapun bangsa-bangsa Asia Tenggara hanya mampu menumpuk batu-batu dengan susunan tak berketentuan bentuknya untuk tempat pemujaan, hidup di gua atau di atas pohon karena tidak tahu teknik bangun rumah. Bahkan huruf pun juga harus impor karena tak mampu mencipta sendiri semisal Sansekerta –Pallawa dari India– yang kelak menjadi huruf Jawa.
Kalau boleh penulis sebut contoh, sekitar 100-150 tahun lalu terhitung dari tahun 2000 masih ada di Indonesia praktek kanibal yaitu di pedalaman Sumatera Utara dan Irian Jaya. Di pedalaman Kalimantan terdapat tradisi mengayau (penggal kepala). Ini adalah contoh bahwa bangsa ini memang akrab dengan kekerasan atau kekejaman. Kehadiran para misionaris asing berangsur-angsur mengurangi tradisi tersebut.

Setelah tahu latar belakangnya, peluang untuk mencari “obatnya” mungkin relatif lebih mudah.
Bangsa ini harus berani jujur dengan mengakui sifat barbarnya –terutama para inteleknya. Masyarakat jangan lagi dibohongi dengan berbagai sanjungan diri sendiri, jangan lagi waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencari kekurangan bangsa lain –nyata maupun khayal. Usut segala pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan umumkan kepada masyarakat. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik dalam sejarah nasional perlu ditinjau kembali, apakah terdapat unsur pelanggaran HAM. Jangan cuma pelanggaran HAM oleh penjajah yang ditampilkan tetapi juga pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan, yang lazim disebut “pejuang” atau “pahlawan” tersebut. Karena para pejuang adalah manusia pula dan bukan malaikat, perjuangan mereka tak lepas dari kesalahan bahkan kekejaman.

Jika masyarakat telah sadar siapa dirinya, barulah sajikan pelajaran nilai-nilai adab semisal agama. Ini memang suatu proses yang panjang, mahal dan sulit tetapi sudah mendesak untuk segera dilaksanakan. Bangsa ini sudah menghabiskan waktunya demi kebohongan dan para intelek perlu bertanggung jawab membongkar atau mengakhirinya. Jangan ragu mengungkap pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh orang-orang yang diakui pahlawan atau pejuang. Jika yang bersangkutan masih hidup upayakan untuk diadili, masalah apakah akan ada pertimbangan kemanusian yang akan meringankan hukuman itu soal lain. Jika yang bersangkutan sudah tiada, tetap diusut dan dipublikasikan.

Sekadar membuka wacana, penulis ambil perioda Revolusi 1945 –periode yang diagungkan atau dikeramatkan sebagai titik puncak perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik diduga terdapat pelanggaran HAM. Begitu kekuasaan Jepang menyusut dan proklamasi diumumkan, di Aceh, Sumatera Timur, Banten dan pantura Jawa Tengah berkobar peristiwa yang disebut “revolusi sosial”. Intinya, mengganti para pejabat-aparat lama –yang dinilai antek atau minimal dekat dengan rezim asing baik Barat maupun Jepang– dengan orang-orang yang revolusioner. Dalam praktek, pergantian tersebut sering disertai pertumpahan darah atau tindak main hakim sendiri.
Peristiwa yang mendahului dan menyertai Hari Pahlawan tidak terlepas dari pelanggaran HAM fihak-fihak yang terlibat. Pada hemat penulis, kita tak perlu lagi membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh penjajah karena sejak kecil kita sudah ditanamkan bahwa penjajah yang pernah bercokol di Indonesia adalah kejam. Maka tiba waktu membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan. Penulis mendapat info dari sumber Barat, bahwa pernah terjadi pembantaian terhadap sekitar 100 warga Barat mantan tawanan Jepang. Truk yang mengangkut mereka dicegat aktivis dan kemudian dibakar. Sumber lain mengatakan ada upacara minum darah para warga Barat sebelum pergi berperang.

Tersebut pula peristiwa yang mendahului dan menyertai Palagan Ambarawa, para aktivis menerobos kamp kemudian menembaki warga Barat mantan tawanan Jepang. Demikian pula nasib para penghuni kamp di Depok, sekitar 30 km selatan Jakarta, mereka digiring keluar dan dibunuh.

Di Bandung, peristiwa Bandung Lautan Api 1946 mungkin mirip dengan peristiwa bumi hangus di Dili pasca jajak pendapat pada 1999. Banyak aset sipil –bahkan sebagian besar– dibakar.
Pada bulan Agustus 1946, terjadi pembantaian terhadap 18 warga Barat di desa Balapulang. Mereka disuruh menghormat bendera Merah Putih kemudian dipukul dan ditusuk hingga tewas.
Kalau boleh penulis usul, perlu dibentuk tim pencari fakta kasus pelanggaran HAM selama perioda 1945-2005, diawali sejak tahun 1945 karena ketika itu bangsa ini memiliki negara atau pemerintahan sendiri yang notabene bertanggung jawab terhadap penghargaan HAM. Tetapkan kriteria bahwa pelakunya adalah orang Indonesia dan korbannya adalah orang Indonesia maupun non Indonesia. Suatu pekerjaan yang tidak mudah namun perlu dilaksanakan supaya menjadi pelajaran berharga –tepatnya kritik diri– untuk bangsa ini, agar tidak mengulangi hal yang sama di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar