Minggu, 06 Maret 2011

Hak Kebebasan Beragama Dalam UDHR (1948)

Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur dalam UDHR yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.
Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk suatu negara.
Kesulitan pengaturan hak kebebasan beragama disebabkan adanya perbedaan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama dari tiap-tiap negara. Perbedaan tersebut dapat memberikan penilaian yang berbeda atas hak kebebasan beragama. Hal inilah yang disampaikan oleh Karl Josef Partsch, beliau menyatakan:
“Atheist may have been satisfied to see “thought” and “conscience” precede “religion”. Liberals may have been pleased to see all three freedoms on an equal level without preference to any one of them. Strongly religious people may have regarde “thought and conscience” as corresponding not only to religion religion generally but even to the only true religion, the one to which they adhere.”
Penjelasan dari Partsch dengan jelas menyatakan kesulitan-kesulitan dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Maka dari itu harus dicari sebuah landasan yang sama sehingga hak kebebasan beragama dapat berjalan tanpa merugikan pihak manapun.
Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR. Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights Commission (UNHRC). Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal 18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional bukan hukum internasional.
Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama. Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan Uruguay.
Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia. Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak manusia.
Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.
Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan dalam bagian UDHR.
Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft UDHR, hak kebebasan beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”. Walaupun hal tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus tetap menjadi acuan utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar